Sabtu, 19 April 2014

“….Pak, Bu, saya berangkat dulu ya, do’ain biar saya sukses, bisa beli mobil kayak orang gedongan.” Kata Nasar sambil memeluk bapak ibunya dengan airmata bercampur ingus yang membuat tetangganya menguyah Antimo.

Nasar pergi menaiki angkot dari kampungnya, niatnya ingin kerja di Jakarta, mau jadi pengusaha biar bisa membiayai hidup bapak, ibu dan adiknya yang baru lulus SMP.

Sesampainya di Jakarta, Nasar, menyeka keringatnya,
 “Panas banget.. Aku mau cari kosan tapi dimana ini ya, ketutup gedung semua gimana nyarinya. Piye iki..” keluh Nasar sambil mengecek isi tasnya, Nasar takut tiba-tiba nanti dicopet kayak di FTV yang biasa dia tonton.

 Ketika melihat dompetnya dia tepaku pada suatu gambar yang sering menemaninya kala di kampung. Ya, dia Musdalifah pacarnya Nasar. Nasar mulai teringat suka duka bersama Musdalifah, mulai dari colek-colekan idung pas ditaman, sampe pelukan yang diakhiri teriakan tukang bakso malang yang minta dibayar dagangannya. Nasar tau dia bakal kangen banget sama Musdalifah, ya tapi gimana dia ke Jakarta juga buat Musdalifah, biar punya banyak uang dan kemudian melamarnya. Tekad Nasar memang sudah bulat akan keputusan ini, tapi ada yang sedikit dia sesalkan, dia sampai gak berpamitan sama Musdalifah karena saat itu dia lagi sedikit berantem sama Musdalifah hanya karena Musdalifah mergokin Nasar mengendus-endus keteknya bapaknya. Tapi untungnya dia sudah titip pesan sama Ibunya..
…..
“Mas, mas.. MAS!! Hell to the O Hellloooo!” Nasar terbangun dari lamunan ketika mendengar ada suara yang seakan memanggilnya. 
“Mas, jangan duduk disini mas, ini gerobak tape saya. Kalo beli mah gakpapa deh, lah ini bengong. Cape dorongnya tau!” Kesal tukang tape singkong.

 “Wuaduhhh! Iyo iyo iyo mas maap maap, aku kok ora sadar e. Ah piye aku ini..” Sesal Nasar. 
Nasar mulai mencari kosan, yang di Jakarta itu salah satu hal yang langka. Langkahnya terhenti pada penjual minuman, dia membeli sebotol air mineral. Air segar tersebut mengalir indah di padang pasir yang bernama tenggorokan. Tak sampai 10 menit beristirahat Nasar melanjutkan perjalananya mencari kosan sambil menendang-nendang botol air mineral yang habis diminumnya tadi. Nasar memang suka bermain bola, walau badannya agak sedikit gempal namun dia cukup berguna di lapangan untuk menggendong temannya yang habis mencetak gol. ‘What ever you say, I can’t play well but I still celebrate’ adalah moto permainannya.

Sudah berkeliling, ditemani panas dan debu, tapi masih belum ketemu, Nasar frustasi dia menendang botolnya dengan keras, 

“Prak!!!” 

“Aduh!!! Siapa yang nendang nih kampret!” Ternyata botolnya kena cewek – namanya Tasya –  yang baru keluar dari mobil. 

“Oalahhh apes kali aku ini, abis deh kena semprot si mbaknya.” Nasar segera menghampirinya sambil menundukkan kepala seraya minta maaf. 

“Maaf mbak maaf, aku gak sengaja.” 

“Lain kali hati-hati dong mas! Untung Cuma botol plastik, coba kalo tabung gas? Bisa ke rumah sakit..” Jawab Tasya, yang membuat Nasar sedikit tersenyum. 

“Ah mbaknya bisa aja, sekali lagi maaf yoo mbak.” Nasar mulai berani memandangnya.. Nasar bengong dengan mulut yang menganga cukup lebar, tiba-tiba tukang kaset dvd gerobakan memainkan lagu Glenn Fredly, ‘Terpesona ku pada pandangan pertamaaa..’  Sayup-sayup terdengar, mengiringi rambut indah Tasya yang seakan tertiup angin.

(satu jam kemudian)

“Mas.. mas.. ilernya elap mas. Lama banget bengongnya.”

Ketika Nasar ingin melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba tuh cewek manggil. “Mas mas, minta tolong dong, mobil saya mati bisa tolong cekin gak?”

 Dengan segala ilmu sotoy Nasar pun sok otak atik tuh Mobil. “Mbak, mobilnya jarang di servis ya?”

“Kok tau??”

“Soalnya Mbak pasti sibuk di kahyangan. Mbak Bidadari kan?”

“Aihhh serius, gombal deh. Hehe, by the way, Tasya.” Tasya sambil menjulurkan tangannya sambil tersenyum.

Diajak berkenalan cewek cantik, Nasar tersenyum bagai tukang cilok yang laris di SD-SD..
“Saya Nasar mbak, gara-gara dinamain Nasar saya jadi Nyasar nih mbak disini.” Curhat Nasar panjang lebar sambil mendorong mobilnya ke bengkel yang akhirnya gak sanggup Nasar benerin.

“….Oh jadi kamu merantau, butuh kosan sama kerjaan? Ngekos deket rumah aku aja, nanti kamu kerjanya di Showroom mobil papa aku. Emang sih gajinya gak besar, tapi bonusnya lumayan. Gimana?”

“MAU MBAK!!!” Nasar reflek nyiumin tangan Tasya sambil bingung Tasya sebenernya anggota MLM level diamond atau malaikat. Tasya mengelap tangannya karena jika kelamaan ingus Nasar bisa berkerak dan melubangi tangannya.

Akhirnya Nasar dapat kosan dan kerjaan yang nyaman. Beruntung sekali dia..

…..

(2 Tahun kemudian)

Nasar mulai dipercaya Papa Tasya karena kinerjanya yang bagus. Rejeki Nasar ngalir terus, mengirimi orang tuanya setiap bulan, membiayai adiknya sekolah, tapi dia inget Musdalifah, gimana kabar Musdalifah, apakah dia sudah dilamar orang lain?? Nasar mulai cemas, sedangkan disini dia semakin dekat dengan Tasya. Papanya Tasya juga udah dianggap Papanya sendiri, tak jarang Nasar minta digendong dan disuapi bubur sun.

Tapi masalahnya Nasar masih menyimpan rasa pada Musdalifah, dan tak ada rasa cinta pada Tasya yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri.
Nasar bingung bagaimana mengungkapkannya pada Tasya. Nasar duduk di tempat tidur sambil memandangi HP china miliknya..

Rasa kangennya pada Musdalifah tak terbendung lagi, Nasar akhirnya minta izin buat pulang sebentar ke kampung. Dia ingin menjenguk keluarganya. Nasar pulang dengan pakaian lebih rapi dari dia pergi, kemeja, dasi, dengan PD Nasar menyapa tetangganya ramah, tapi siapa yang menyangka resleting Nasar terbuka lebar, membuat tetangga di kampungnya kembali mengunyah Antimo.

“Assalamu’alaikum, pak, bu.” Sambil mengetuk pintu dengan cat rumah yang tampak masih sedikit basah. Sepertinya bapak dan ibu Nasar abis renovasi.

“Oalah! Anakku sudah jadi orang kantoran yo? Gimana enak di Kota?” Setelah basa-basi dan cerita tentang perjalanannya selama ini di Jakarta tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah Nasar.

“Assalamu’alaikum..”

“Wa’alaikum salam” Nasar dengan cepat membuka pintunya.

“Musdalifah..”

“Mas Nasar.. Kamu lama sekali mas. Aku nunggu kamu disini. 5 lamaran aku tolak, bapakku sampai kesal.” Curhat Masdalifah sepenuh hati.

“Maafkan aku Musdalifah, aku pergi tanpa pesan, pulang tanpa kepastian. Tapi mendengar ceritamu sungguh aku ingin cepat-cepat melamarmu. Aku tak mau ada pria lain yang mencoba menggodamu lagi.” Ungkap Nasar persis seperti di film India.

Akhirnya Nasar dan kedua orang tuanya pergi melamar, lamaran berjalan dengan baik, bulan depan mereka akan menikah.. Nasar cukup bahagia sebelum ingat betapa tidak enaknya Nasar pada keluarga Tasya di Jakarta.
Tapi apapun itu, Nasar haruslah jadi gentleman, Nasar harus berani jujur. Tiba di Jakarta Nasar menceritakan semua tentang pertunangannya di depan keluarga Tasya dan mengundang mereka ke acara pernikahannya bulan depan.

Nasar pasrah dan menutup mata, seakan bersiap merasakan sebuah tamparan di pipinya. Tapi ternyata…. Ketika Nasar membuka matanya, Bapak, Ibu, dan Tasya tersenyum manis, saat itu nasar melihat ke bawah dan mendapati tiga buah garpu makan telah menancap di perutnya..

“DASAR GAK TAU MALU! PERGI KAMU DARI RUMAH SAYA!” Kata Papanya Tasya.
“AKU KECEWA SAMA KAMU, KAMU JAHAT!” Kata Tasya.

Nasar pulang digotong petugas ambulan..
Berifikir ini semua salahnya yang gak pernah jujur sama perasaannya, jadi ada orang yang merasa di-PHP-in, Di-kode-in, padahal diluar dari itu semua Nasar hanya mencoba setia pada Musdalifah, karena dia ada disini juga karena Musdalifah. Nasar mencoba move on, dia gak punya kerjaan lagi. Dengan perut penuh perban, Nasar pulang ke kampungnya dengan lega bercampur sedih, dan kadang menarik nafas panjang memberikan sedikit celah di hati yang sesak.
Tiba di kampung, dia cerita semuanya ke Musdalifah, khawatir Musdalifah akan kecewa dan membatalkannya karena Nasar sudah tak punya apa-apa lagi, 

Nasar pasrah..

Musdalifah tersenyum.

“Aku bangga sama kamu, mas. Kamu rela kehilangan segalanya buat aku. Mulai sekarang kita buat usaha kecil-kecilan aja disini, hidup sederhana asal bahagia.”

Nasar sadar dia gak salah pilih pasangan. Orang yang selama ini dia cinta ternyata memang selalu ada dalam keadaan apapun.

Akhirnya Nasar jualan Mie Ayam dengan modal yang tersisa ditabungannya, tentunya dengan segala ilmu marketing yang dia dapat selama bekerja di Jakarta. Tahun demi tahun, Mie Ayamnya cukup sukses, sampai memiliki cabang dan pegawai dimana-mana, hingga bisa mensejahterakan keluarga kecilnya. Nasar tersenyum lebar, kemudian mengecup kening istrinya, Musdalifah, yang sedang mengandung anaknya yang kedua.
Tak lupa dia selalu bersyukur dan berdoa untuk Tasya dan keluarganya yang telah banyak membantu dalam hidupnya.
-TAMAT-

follow @pixfow

0 komentar:

Posting Komentar