“….Pak,
Bu, saya berangkat dulu ya, do’ain biar saya sukses, bisa beli mobil kayak
orang gedongan.” Kata Nasar sambil memeluk bapak ibunya dengan airmata
bercampur ingus yang membuat tetangganya menguyah Antimo.
Nasar
pergi menaiki angkot dari kampungnya, niatnya ingin kerja di Jakarta, mau jadi
pengusaha biar bisa membiayai hidup bapak, ibu dan adiknya yang baru lulus SMP.
Sesampainya
di Jakarta, Nasar, menyeka keringatnya,
“Panas banget.. Aku mau cari kosan tapi
dimana ini ya, ketutup gedung semua gimana nyarinya. Piye iki..” keluh Nasar
sambil mengecek isi tasnya, Nasar takut tiba-tiba nanti dicopet kayak di FTV
yang biasa dia tonton.
Ketika melihat dompetnya dia tepaku pada suatu gambar
yang sering menemaninya kala di kampung. Ya, dia Musdalifah pacarnya Nasar.
Nasar mulai teringat suka duka bersama Musdalifah, mulai dari colek-colekan
idung pas ditaman, sampe pelukan yang diakhiri teriakan tukang bakso malang
yang minta dibayar dagangannya. Nasar tau dia bakal kangen banget sama
Musdalifah, ya tapi gimana dia ke Jakarta juga buat Musdalifah, biar punya banyak
uang dan kemudian melamarnya. Tekad Nasar memang sudah bulat akan keputusan
ini, tapi ada yang sedikit dia sesalkan, dia sampai gak berpamitan sama
Musdalifah karena saat itu dia lagi sedikit berantem sama Musdalifah hanya
karena Musdalifah mergokin Nasar mengendus-endus keteknya bapaknya. Tapi untungnya
dia sudah titip pesan sama Ibunya..
…..
“Mas,
mas.. MAS!! Hell to the O Hellloooo!” Nasar terbangun dari lamunan ketika
mendengar ada suara yang seakan memanggilnya.
“Mas, jangan duduk disini mas,
ini gerobak tape saya. Kalo beli mah gakpapa deh, lah ini bengong. Cape
dorongnya tau!” Kesal tukang tape singkong.
“Wuaduhhh! Iyo iyo iyo mas maap maap,
aku kok ora sadar e. Ah piye aku ini..” Sesal Nasar.
Nasar mulai mencari kosan,
yang di Jakarta itu salah satu hal yang langka. Langkahnya terhenti pada penjual
minuman, dia membeli sebotol air mineral. Air segar tersebut mengalir indah di
padang pasir yang bernama tenggorokan. Tak sampai 10 menit beristirahat Nasar
melanjutkan perjalananya mencari kosan sambil menendang-nendang botol air
mineral yang habis diminumnya tadi. Nasar memang suka bermain bola, walau
badannya agak sedikit gempal namun dia cukup berguna di lapangan untuk
menggendong temannya yang habis mencetak gol. ‘What ever you say, I can’t play well but I still celebrate’ adalah moto
permainannya.
Sudah
berkeliling, ditemani panas dan debu, tapi masih belum ketemu, Nasar frustasi
dia menendang botolnya dengan keras,
“Prak!!!”
“Aduh!!! Siapa yang nendang nih
kampret!” Ternyata botolnya kena cewek – namanya Tasya – yang baru keluar dari mobil.
“Oalahhh apes
kali aku ini, abis deh kena semprot si mbaknya.” Nasar segera menghampirinya
sambil menundukkan kepala seraya minta maaf.
“Maaf mbak maaf, aku gak sengaja.”
“Lain kali hati-hati dong mas! Untung Cuma botol plastik, coba kalo tabung gas?
Bisa ke rumah sakit..” Jawab Tasya, yang membuat Nasar sedikit
tersenyum.
“Ah mbaknya bisa aja, sekali lagi maaf yoo mbak.” Nasar mulai berani
memandangnya.. Nasar bengong dengan mulut yang menganga cukup lebar, tiba-tiba
tukang kaset dvd gerobakan memainkan lagu Glenn Fredly, ‘Terpesona ku pada pandangan pertamaaa..’ Sayup-sayup terdengar, mengiringi rambut indah
Tasya yang seakan tertiup angin.
(satu
jam kemudian)
“Mas..
mas.. ilernya elap mas. Lama banget bengongnya.”
Ketika
Nasar ingin melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba tuh cewek manggil. “Mas mas,
minta tolong dong, mobil saya mati bisa tolong cekin gak?”
Dengan segala ilmu
sotoy Nasar pun sok otak atik tuh Mobil. “Mbak, mobilnya jarang di servis ya?”
“Kok
tau??”
“Soalnya
Mbak pasti sibuk di kahyangan. Mbak Bidadari kan?”
“Aihhh
serius, gombal deh. Hehe, by the way, Tasya.” Tasya sambil menjulurkan tangannya sambil tersenyum.
Diajak berkenalan cewek cantik, Nasar tersenyum bagai tukang cilok yang laris di SD-SD..
“Saya
Nasar mbak, gara-gara dinamain Nasar saya jadi Nyasar nih mbak disini.” Curhat
Nasar panjang lebar sambil mendorong mobilnya ke bengkel yang akhirnya gak
sanggup Nasar benerin.
“….Oh
jadi kamu merantau, butuh kosan sama kerjaan? Ngekos deket rumah aku aja, nanti
kamu kerjanya di Showroom mobil papa aku. Emang sih gajinya gak besar, tapi
bonusnya lumayan. Gimana?”
“MAU
MBAK!!!” Nasar reflek nyiumin tangan Tasya sambil bingung Tasya sebenernya
anggota MLM level diamond atau malaikat. Tasya mengelap tangannya karena jika
kelamaan ingus Nasar bisa berkerak dan melubangi tangannya.
Akhirnya
Nasar dapat kosan dan kerjaan yang nyaman. Beruntung sekali dia..
…..
(2
Tahun kemudian)
Nasar
mulai dipercaya Papa Tasya karena kinerjanya yang bagus. Rejeki Nasar ngalir
terus, mengirimi orang tuanya setiap bulan, membiayai adiknya sekolah, tapi dia
inget Musdalifah, gimana kabar Musdalifah, apakah dia sudah dilamar orang
lain?? Nasar mulai cemas, sedangkan disini dia semakin dekat dengan Tasya.
Papanya Tasya juga udah dianggap Papanya sendiri, tak jarang Nasar minta
digendong dan disuapi bubur sun.
Tapi
masalahnya Nasar masih menyimpan rasa pada Musdalifah, dan tak ada rasa cinta
pada Tasya yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri.
Nasar
bingung bagaimana mengungkapkannya pada Tasya. Nasar duduk di tempat tidur
sambil memandangi HP china miliknya..
Rasa
kangennya pada Musdalifah tak terbendung lagi, Nasar akhirnya minta izin buat
pulang sebentar ke kampung. Dia ingin menjenguk keluarganya. Nasar pulang
dengan pakaian lebih rapi dari dia pergi, kemeja, dasi, dengan PD Nasar menyapa
tetangganya ramah, tapi siapa yang menyangka resleting Nasar terbuka lebar,
membuat tetangga di kampungnya kembali mengunyah Antimo.
“Assalamu’alaikum,
pak, bu.” Sambil mengetuk pintu dengan cat rumah yang tampak masih sedikit
basah. Sepertinya bapak dan ibu Nasar abis renovasi.
“Oalah!
Anakku sudah jadi orang kantoran yo? Gimana enak di Kota?” Setelah basa-basi dan
cerita tentang perjalanannya selama ini di Jakarta tiba-tiba ada yang mengetuk
pintu rumah Nasar.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikum
salam” Nasar dengan cepat membuka pintunya.
“Musdalifah..”
“Mas
Nasar.. Kamu lama sekali mas. Aku nunggu kamu disini. 5 lamaran aku tolak,
bapakku sampai kesal.” Curhat Masdalifah sepenuh hati.
“Maafkan
aku Musdalifah, aku pergi tanpa pesan, pulang tanpa kepastian. Tapi mendengar
ceritamu sungguh aku ingin cepat-cepat melamarmu. Aku tak mau ada pria lain
yang mencoba menggodamu lagi.” Ungkap Nasar persis seperti di film India.
Akhirnya
Nasar dan kedua orang tuanya pergi melamar, lamaran berjalan dengan baik, bulan
depan mereka akan menikah.. Nasar cukup bahagia sebelum ingat betapa tidak
enaknya Nasar pada keluarga Tasya di Jakarta.
Tapi
apapun itu, Nasar haruslah jadi gentleman, Nasar harus berani jujur. Tiba di
Jakarta Nasar menceritakan semua tentang pertunangannya di depan keluarga Tasya
dan mengundang mereka ke acara pernikahannya bulan depan.
Nasar
pasrah dan menutup mata, seakan bersiap merasakan sebuah tamparan di pipinya.
Tapi ternyata…. Ketika Nasar membuka matanya, Bapak, Ibu, dan Tasya tersenyum manis, saat itu nasar melihat ke bawah dan mendapati tiga buah garpu makan telah menancap
di perutnya..
“DASAR
GAK TAU MALU! PERGI KAMU DARI RUMAH SAYA!” Kata Papanya Tasya.
“AKU
KECEWA SAMA KAMU, KAMU JAHAT!” Kata Tasya.
Nasar
pulang digotong petugas ambulan..
Berifikir ini semua salahnya
yang gak pernah jujur sama perasaannya, jadi ada orang yang merasa di-PHP-in,
Di-kode-in, padahal diluar dari itu semua Nasar hanya mencoba setia pada
Musdalifah, karena dia ada disini juga karena Musdalifah. Nasar mencoba move on,
dia gak punya kerjaan lagi. Dengan perut penuh perban, Nasar pulang ke kampungnya dengan lega bercampur
sedih, dan kadang menarik nafas panjang memberikan sedikit celah di hati yang
sesak.
Tiba
di kampung, dia cerita semuanya ke Musdalifah, khawatir Musdalifah akan kecewa
dan membatalkannya karena Nasar sudah tak punya apa-apa lagi,
Nasar pasrah..
Musdalifah
tersenyum.
“Aku
bangga sama kamu, mas. Kamu rela kehilangan segalanya buat aku. Mulai sekarang
kita buat usaha kecil-kecilan aja disini, hidup sederhana asal bahagia.”
Nasar
sadar dia gak salah pilih pasangan. Orang yang selama ini dia cinta ternyata
memang selalu ada dalam keadaan apapun.
Akhirnya
Nasar jualan Mie Ayam dengan modal yang tersisa ditabungannya, tentunya dengan segala ilmu marketing yang dia dapat selama
bekerja di Jakarta. Tahun demi tahun, Mie Ayamnya cukup sukses, sampai memiliki
cabang dan pegawai dimana-mana, hingga bisa mensejahterakan keluarga kecilnya.
Nasar tersenyum lebar, kemudian mengecup kening istrinya, Musdalifah, yang
sedang mengandung anaknya yang kedua.
Tak lupa dia selalu bersyukur dan berdoa untuk Tasya dan keluarganya yang telah banyak membantu dalam hidupnya.
-TAMAT-
follow @pixfow
0 komentar:
Posting Komentar